OPINI
Penulis: Gerardus Umbu Pati, mantan Ketua PMKRI cabang Mataram periode 2021-2022
Asal: Nusa Tenggara Timur
Pandangan yang menganggap politik itu kotor, menjijikkan, sarat tipu muslihat serta ungkapan-ungkapan senada masih sangat dominan dikalangan umat Katolik Indonesia, terlebih khusus untuk kalangan anak muda. Sehingga generasi muda Katolik tidak mau bergabung dalam agenda politik.
Paham tersebut sangat keliru karena jika hanya dipahami secara terbatas melalui pikiran sempit. Kesakralan politik Katolik adalah politik tataran moral yang merujuk pada pendidikan politik kepada seluruh umat Katolik, agar memahami fungsi dari partai politik, lembaga-lembaga negara dan sistem ketatanegaraan Indonesia.
Tokoh Panutan Katolik mulai berjuang diri sendiri.
Harus di sadari bawah mulai banyak rasul awan yang berjuang sendirian dan kurang dapat dukungan hierarki dan umat Katolik. Ada yang puluhan tahun mengabdi untuk gereja dan terjun ke dunia politik menjadi caleg tidak didukung.
Saya sebagai anak muda Katolik menganggap bahwa banyak caleg Katolik yang bertarung sesama Katolik dari partai lain dan bahkan sesama partai. Bahkan ada juga caleg yang merasa tidak di dukung oleh umat Katolik dan ia berjuang sendiri.
Sesungguhnya tidak ada masalah, karena prinsipnya pilihan politik Katolik ialah berdasarkan hati nurani dan bukan atas nama lembaga. Konsekuensi caleg Katolik akan berjuang semampunya, menggunakan aneka cara namun sering bersaing dan bahkan saling menjatuhkan antara sesama Katolik.
Lebih parahnya lagi caleg Katolik sama sama gagal dan yang terpilih adalah mereka yang kompak dan bersatu padu. Hal ini yang menimbulkan pertanyaan dari kalangan anak muda Katolik, dimanakah tokoh Katolik yang bisa memediasi persoalan ini agar mencari solusi (win win solution).
Pertanyaan kita saat ini : Mengapa respon umat Katolik tentang politik tergolong rendah???
Mungkinkah akibat beberapa personal di atas yang membuat generasi muda Katolik atau umat Katolik menjauh dari politik. Karena dalam kurun waktu 25 tahun setelah Reformasi pertumbuhan jumlah politik Katolik baik di DPR RI, DPD RI maupun DPRD provinsi dan kabupaten/kota cukup kecil dan bahkan terlebih khusus DPRD NTB dan DPRD seluruh kota di NTB sangat berkurang dan bahkan tidak ada 1 kader Katolik yang menduduki jabatan Legislatif.
Rendahnya kebiasaan berorganisasi di kalangan umat dan anak muda Katolik sehingga mempengaruhi kaderisasi umat Katolik dalam pesta Demokrasi. Pada point ini penulis coba fokus pada upaya-upaya sadar, terencana dan sistematis yang di lakukan organisasi-organisasi internal Katolik untuk melakukan kaderisasi yang berkarya di pemerintahan, bidang politik, Civil society serta para mahasiswa. Tujuannya adalah memberikan arah pengabdian di kemudian hari menjadi menjadi Martir Gereja dan Martir Negara seperti yang tertuang dalam semboyan (Pro Ecclesia et Patria) untuk Gereja dan Bangsa (Pro Bono Publico) pekerjaan profesional yang dilakukan secara sukarela dan tanpa bayaran.
Pertama: Kader Karakter Pemberani : menjadi pribadi pemberani adalah seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan namun harus sesuai dengan norma dan etika sosial, seorang kader pemberani tidak mudah menyerah menghadapi tantangan dan kegagalan, kader Katolik harus berpegang pada prinsip janji Tuhan “Jangan khawatir mengenai hari esok, sebab hari esok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan hari ini cukuplah untuk hari ini” (Mat. 6:34).
Kedua: Kader menjadi panggilan hidup: Panggilan menjadi kader dan pemimpin dalam suatu organisasi Katolik harus didasari dengan pengorbanan dan tanpa mencari balasan duniawi, menanggung beban apapun sebagai resiko dari perjuangan visi misi organisasi, visi misi gereja seperti Yesus sendiri Mengorbankan nyawanya di kayu salib bukan untuk diri sendiri melainkan mengorbankan nyawanya untuk seluruh umat-Nya di dunia ini. Prinsip inilah yang harus di pegang teguh oleh kader-kader Katolik sehingga nota-bene perjuangan bukan untuk kepentingan diri sendiri melainkan perwujudan dari perjuangan terwujudnya keadilan sosial, kemanusiaan dan persaudaraan sejati.
Ketiga: Kader menjadi garam dan terang, serta siap tidak di pandang. Pada point ketiga ini merupakan gabungan dari tujuan kaderisasi yakni menjadi garam dan terang bagi teman, sahabat, keluarga, suku, agama dan Indonesia serta dunia; kader siap menjalankan perutusan kebaikan menembus seluruh batas-batas kepentingan bahkan sekalipun kader tidak dianggap, diremehkan, dan dihina kader harus siap menerima itu semua karena menjadi garam dan terang dunia itu tidak hanya sebatas komitmen tetapi juga perwujudan dalam tindakan nyata. Yaitu ikut terlibat aktif dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan demi tercapainya visi organisasi dan visi gereja.
Keempat: adalah mental kader untuk siap tidak dianggap apapun atau tidak di pandang adalah konsekuensi dari spiritual kader seperti garam dan terang, garam tidak dilihat dan tidak dihargai tetapi di rasakan dampak kerjanya dalam mengasinkan dan mengawetkan makanan.